Loading...
Reforma Agraria merupakan salah satu pilar dari Kebijakan Pemerataan Ekonomi. Dasar dari Kebijakan Pemerataan Ekonomi adalah pemikiran bahwa tidak cukup hanya memberikan equality (kesamaan perlakuan), tetapi perlu diberikan aset/modal (equity) kepada penduduk ekonomi lemah. Secara historis kebijakan program Reforma Agraria merupakan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, kemudian diikuti dengan UU Nomor 5 Tahun 1967 dan dilanjutkan dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 dan peraturan pelaksanaannya. MPR pada saat Orde Reformasi menerbitkan Tap MPR No. IX Tahun 2001 yang merupakan tonggak awal Reforma Agraria. Dalam PP 44 tahun 2004 yang didalamnya sudah mengatur menyelesaikan penguasaan tanah dalam kawasan hutan yaitu pada saat pelaksanaan proses penataan batas luar Kawasan hutan, pemancangan batas sementara dan inventarisasi hak-hak pihak ketiga yang melibatkan kepala desa dan kecamatan. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 44 tahun 2012 jo P.62 tahun 2013 diatur lebih detail terkait mekanisme Penyelesaian bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai Kawasan Hutan dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam Kawasan Hutan Negara melalui Perubahan Batas Kawasan Hutan.
Pada tahun 2014 dijadikan sebagai salah satu kebijakan NAWACITA Pemerintah Presiden RI Joko Widodo melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019 kemudian dilanjutkan pada RPJMN Tahun 2020 – 2024 diikuti dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan serta Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Program Reforma Agraria termuat dalam NAWACITA dan RPJMN yang berisi tentang peningkatan kesejahteraan rakyat marjinal dengan pelaksanaan Program Indonesia Kerja. Dalam rangka mendukung dan berkontribusi dalam Pembangunan Nasional khususnya bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan, KLHK mempunyai peran strategis dalam mewujudkan kawasan hutan yang mantap diantaranya melalui Penataan Kawasan Hutan untuk mendukung program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).
Sesuai Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 menggunakan prinsip ultimum remedium yaitu merupakan salah satu asas dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Sebagaimana Pasal 110B ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal pelanggaran yang dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektar, dikecualikan dari sanksi administrative dan diselesaikan melalui penataan Kawasan hutan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan bahwa penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka menyelesaikan permasalahan masyarakat di dalam kawasan hutan. Penyelesaian hak-hak pihak ketiga di dalam kawasan hutan diselesaikan melalui penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan. Pada tahun 2023 telah terbit Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, yang mana Peraturan Presiden ini merupakan regulasi pendukung untuk mempercepat pelaksanaan penyediaan sumber TORA.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan dijelaskan bahwa Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan Negara dilakukan dengan Penataan Kawasan Hutan. Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan meliputi:
A. Penataan Kawasan Hutan lebih dari Kecukupan Luas Kawasan Hutan dan Penutupan Hutan;
B. Penataan Kawasan Hutan kurang dari Kecukupan Luas Kawasan Hutan dan Penutupan Hutan;
C. Tata cara pelepasan Kawasan HPK tidak produktif;
D. Penyelesaian permukiman dalam Kawasan Hutan;
E. Pendanaan; dan
F. Monitoring dan evaluasi.
Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan Negara dilakukan dengan Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan melalui kegiatan:
A. Pengadaan Tanah Obyek Reforma Agraria;
B. Pengelolaan Perhutanan Sosial;
C. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan; dan/atau;
D. Penggunaan Kawasan Hutan;
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan, yaitu: Pasal 130 ayat (3) bahwa Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan Negara yang dilakukan dengan inventarisasi dan verifikasi awal, antara lain:
A. Data dan informasi penutupan lahan secara periodik dan terkini;
B. Hasil inventarisasi dan verifikasi lapangan;
C. Masukan dari pada pihak dan/atau;
D. Penguasaan bidang tanah dalam Kawasan Hutan Negara oleh masyarakat dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
yang selanjutnya dijadikan pertimbangan penetapan Peta Indikatif Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan (Peta Indikatif PPTPKH). Pasal 130 ayat (4) bahwa Peta Indikatif Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan terdiri atas:
A. Alokasi TORA dari 20% (dua puluh perseratus) Pelepasan Kawasan Hutan untuk perkebunan;
B. Kawasan HPK tidak produktif;
C. Program pemerintah untuk pencadangan sawah baru;
D. Permukiman transmigrasi beserta fasilitas sosial dan fasilitas umum yang sudah memperoleh persetujuan prinsip Pelepasan Kawasan Hutan untuk transmigrasi;
E. Permukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum; atau
F. Lahan Garapan pertanian, perkebunan dan tambak.
Pada Peta Indikatif Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH) terdiri atas alokasi sumber TORA berupa:
A. Non eksisting/Non Inventarisasi dan Verifikasi PPTPKH yaitu pada kriteria: (1) Alokasi TORA dari 20% Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan, (2) Hutan Produksi yang dapat DiKonversi (HPK) berhutan tidak produktif, (3) Program pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru;
B. Eksisting melalui Inventarisasi dan Verifikasi PPTPKH yaitu pada kriteria: (1) Permukiman Transmigrasi beserta fasos-fasumnya yang sudah memperoleh persetujuan prinsip, (2) Permukiman fasos dan fasum, (3) Lahan Garapan pertanian, perkebunan dan tambak.
Penyelenggaraan penyelesaian penguasaan tanah yang mempunyai kecukupan luas Kawasan hutan dan penutupan hutan lebih dari kecukupan luas Kawasan hutan pada luas DAS, pulau dan/atau provinsi dilaksanakan dengan Inventarisasi dan Verifikasi PPTPKH, sedangkan penyelenggaraan penyelesaian penguasaan tanah yang mempunyai kecukupan luas Kawasan hutan dan penutupan hutan kurang dari kecukupan luas Kawasan hutan pada luas DAS, pulau dan/atau provinsi dilaksanakan dengan Tim Terpadu Penataan Kawasan Hutan. Sebagaimana PermenLHK Nomor 7 Tahun 2021, Pasal 151 ayat (1) Pemohon mengajukan permohonan inventarisasi dan verifikasi PPTPKH kepada Tim Inver PPTPKH melalui bupati/wali kota. Pemohon PPTPKH meliputi: (1) Perseorangan, (2) Instansi; dan/atau, (3) Badan Sosial/Keagamaan. Inventarisasi dan verifikasi Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH) dilakukan diantaranya untuk penguasaan bidang tanah dalam kawasan hutan negara oleh masyarakat dilakukan sebelum berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja yang memenuhi kriteria yaitu:
A. penguasaan bidang tanah dalam Kawasan Hutan Negara oleh mayarakat dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
B. dikuasai paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus;
C. dikuasai oleh Perseorangan dengan luasan paling banyak 5 Ha (lima hektare);
D. bidang tanah telah dikuasai oleh pihak secara fisik dengan itikad baik dan secara terbuka; dan
D. bidang tanah yang tidak bersengketa.
Hasil Inventarisasi dan Verifikasi PPTPKH dari Tim PPTPKH akan mendapatkan persetujuan dari Menteri LHK terkait dengan rekomendasi penyelesaiannya, kemudian untuk hasil rekomendasi berupa Perubahan Batas dilakukan penataan batas Kawasan hutan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan. Hasil tata batas berupa Dokumen Berita Acara Tata Batas digunakan sebagai bahan untuk menerbitkan Surat Keputusan Menteri LHK tentang Penetapan Perubahan Batas Kawasan Hutan (SK Biru).
Target penyediaan sumber TORA sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019 kemudian dilanjutkan pada RPJMN Tahun 2020 - 2024 seluas ±4,1 juta hektar. Pada RPJMN Tahun 2020-2024 yang terbagi menjadi 5 tahun kegiatan dengan komposisi yang telah ditetapkan. Revisi Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan dilaksanakan sebagai langkah-langkah strategis dalam pencapaian Renstra Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan tahun 2020 – 2024. Arah dan tujuan Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan tahun 2020 – 2024 adalah Pilar Sosial Pemanfaatan Hutan Bagi Masyarakat yang Berkeadilan. Sedangkan Program Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan adalah Program Pengelolaan Hutan Berkelanjutan dan Program Dukungan Manajemen.
Mengusung tema Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan RKP Tahun 2023, pada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan terdapat 4 (empat) dari 6 (enam) tujuan prioritas nasional dalam sasaran pembangunan dan arah kebijakan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2023. Pada prioritas ketiga, meningkatkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing. Dalam rangka meningkatkan dukungan terhadap Prioritas Nasional 3, salah satu sasaran pembangunan yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rencana kerja tahun 2023 antara lain terwujudnya pengentasan kemiskinan melalui kegiatan Reforma Agraria, dengan indikator meningkatnya luas kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat dan meningkatnya luas kawasan hutan yang dilepaskan untuk TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria). Fokus pada sasaran program terselesaikannya pelepasan kawasan hutan untuk TORA, dengan pelaksanaan kegiatan penyelesaian penyediaan kawasan hutan untuk penyelesaian TORA dan penyediaan data areal Perhutanan Sosial.